Senin, 14 Desember 2009

Mengenal Schizophrenia

Meskipun definisi yang pasti tentang Schizophrenia selalu menjadi perdebatan para ahli, terdapat indikasi yang semakin nyata bahwa Schizophrenia adalah sebuah gangguan yang terjadi pada fungsi otak. Dalam buku The Broken Brain : The Biological Revolution in Psychiatry yang ditulis oleh Dr. Nancy Andreasen, dikatakan bahwa bukti-bukti terkini tentang serangan Schizophrenia merupakan suatu hal yang melibatkan banyak faktor. Faktor-faktor itu meliputi perubahan struktur fisik otak, perubahan struktur kimia otak, dan faktor genetik.
Di dalam otak terdapat miliaran sambungan sel. Setiap sambungan sel menjadi tempat untuk meneruskan maupun menerima pesan dari sambungan sel yang lain. Sambungan sel tersebut melepaskan zat kimia yang disebut neurotransmitters yang membawa pesan dari ujung sambungan sel yang satu ke ujung sambungan sel yang lain. Di dalam otak yang terserang schizophrenia, terdapat kesalahan atau kerusakan pada sistem komunikasi tersebut.
Bagi keluarga dengan penderita schizophrenia di dalamnya, akan mengerti dengan jelas apa yang dialami penderita schizophrenia dengan membandingkan antara otak dengan telepon. Pada orang yang normal, sistem switch pada otak bekerja dengan normal. Sinyal-sinyal persepsi yang datang dikirim kembali dengan sempurna tanpa ada gangguan sehingga menghasilkan perasaan, pemikiran, dan akhirnya melakukan tindakan sesuai kebutuhan saat itu. Pada otak penderita schizophrenia, sinyal-sinyal yang dikirim mengalami gangguan sehingga tidak berhasil mencapai sambungan sel yang dituju.
Schizophrenia terbentuk secara bertahap dimana keluarga maupun penderita tidak menyadari ada sesuatu yang tidak beres dalam otaknya dalam kurun waktu yang lama. Kerusakan yang perlahan-lahan ini yang akhirnya menjadi schizophrenia yang tersembunyi dan berbahaya. Gejala yang timbul secara perlahan-lahan ini bisa saja menjadi schizophrenia akut. Periode schizophrenia akut adalah gangguan yang singkat dan kuat, yang meliputi halusinasi, penyesatan pikiran (delusi), dan kegagalan berpikir.
Kadang kala schizophrenia menyerang secara tiba-tiba. Perubahan perilaku yang sangat dramatis terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Serangan yang mendadak selalu memicu terjadinya periode akut secara cepat. Beberapa penderita mengalami gangguan seumur hidup, tapi banyak juga yang bisa kembali hidup secara normal dalam periode akut tersebut. Kebanyakan dari mereka dikucilkan, menderita depresi yang hebat, dan tidak dapat berfungsi sebagaimana layaknya orang normal dalam lingkungannya. Dalam beberapa kasus, serangan dapat meningkat menjadi apa yang disebut schizophrenia kronis. Penderita menjadi buas, kehilangan karakter sebagai manusia dalam kehidupan sosial, tidak memiliki motivasi sama sekali, depresi, dan tidak memiliki kepekaan tentang perasaannya sendiri. Para Psikiater membedakan gejala serangan schizophrenia menjadi 2, yaitu gejala positif dan negatif.

Gejala positif
Halusinasi selalu terjadi saat rangsangan terlalu kuat dan otak tidak mampu menginterpretasikan dan merespon pesan atau rangsangan yang datang. Penderita schizophrenia mungkin mendengar suara-suara atau melihat sesuatu yang sebenarnya tidak ada, atau mengalami suatu sensasi yang tidak biasa pada tubuhnya. Auditory hallucinations, gejala yang biasanya timbul yaitu penderita merasakan ada suara dari dalam dirinya. Kadang suara itu dirasakan menyejukkan hati, memberi kedamaian, tapi kadang suara itu menyuruhnya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya, seperti bunuh diri.
Penyesatan pikiran (delusi) adalah kepercayaan yang kuat dalam menginterpretasikan sesuatu yang kadang berlawanan dengan kenyataan. Misalnya, pada penderita schizophrenia, lampu trafik di jalan raya yang berwarna merah kuning hijau, dianggap sebagai suatu isyarat dari luar angkasa. Beberapa penderita schizophrenia berubah menjadi seorang paranoid. Mereka selalu merasa sedang diamat-amati, diintai, atau hendak diserang.
Kegagalan berpikir mengarah kepada masalah dimana penderita schizophrenia tidak mampu memproses dan mengatur pikirannya. Kebanyakan penderita tidak mampu memahami hubungan antara kenyataan dan logika. Penderita schizophrenia tidak mampu mengatur pikirannya membuat mereka berbicara secara serampangan dan tidak bisa ditangkap secara logika. Ketidakmampuan dalam berpikir mengakibatkan ketidakmampuan mengendalikan emosi dan perasaan. Hasilnya kadang penderita schizophrenia tertawa sendiri atau berbicara sendiri dengan keras tanpa mempedulikan sekelilingnya.
Semua itu membuat penderita schizophrenia tidak bisa memahami siapa dirinya, tidak berpakaian, dan tidak bisa mengerti apa itu manusia. Dia juga tidak bisa mengerti kapan dia lahir, dimana dia berada, dan sebagainya.

Gejala negatif
Penderita schizophrenia kehilangan motivasi dan apatis berarti kehilangan energi dan minat dalam hidup yang membuat penderita menjadi orang yang malas. Karena penderita schizophrenia hanya memiliki energi yang sedikit, mereka tidak bisa melakukan hal-hal yang lain selain tidur dan makan. Perasaan yang tumpul membuat emosi penderita schizophrenia menjadi datar. Penderita schizophrenia tidak memiliki ekspresi baik dari raut muka maupun gerakan tangannya, seakan-akan dia tidak memiliki emosi apapun. Tapi ini tidak berarti bahwa penderita schizophrenia tidak bisa merasakan perasaan apapun. Mereka mungkin bisa menerima pemberian dan perhatian orang lain, tetapi tidak bisa mengekspresikan perasaan mereka.
Depresi yang tidak mengenal perasaan ingin ditolong dan berharap, selalu menjadi bagian dari hidup penderita schizophrenia. Mereka tidak merasa memiliki perilaku yang menyimpang, tidak bisa membina hubungan relasi dengan orang lain, dan tidak mengenal cinta. Perasaan depresi adalah sesuatu yang sangat menyakitkan. Di samping itu, perubahan otak secara biologis juga memberi andil dalam depresi. Depresi yang berkelanjutan akan membuat penderita schizophrenia menarik diri dari lingkungannya. Mereka selalu merasa aman bila sendirian. Dalam beberapa kasus, schizophrenia menyerang manusia usia muda antara 15 hingga 30 tahun, tetapi serangan kebanyakan terjadi pada usia 40 tahun ke atas. Schizophrenia bisa menyerang siapa saja tanpa mengenal jenis kelamin, ras, maupun tingkat sosial ekonomi. Diperkirakan penderita schizophrenia sebanyak 1 % dari jumlah manusia yang ada di bumi.
Schizophrenia tidak bisa disembuhkan sampai sekarang. Tetapi dengan bantuan Psikiater dan obat-obatan, schizophrenia dapat dikontrol. Pemulihan memang kadang terjadi, tetapi tidak bisa diprediksikan. Dalam beberapa kasus, penderita menjadi lebih baik dari sebelumnya. Keringanan gejala selalu nampak dalam 2 tahun pertama setelah penderita diobati, dan berangsur-angsur menjadi jarang setelah 5 tahun pengobatan. Pada umur yang lanjut, di atas 40 tahun, kehidupan penderita schizophrenia yang diobati akan semakin baik, dosis obat yang diberikan akan semakin berkurang, dan frekuensi pengobatan akan semakin jarang.


sumber: google.com
1.2 BERBAGAI PENDEKATAN DALAM PSIKOLOGI

Setiap perilaku atau aktivitas seorang manusia, dapat dijelaskan dari berbagai dimensi pendekatan. Sebagai misalnya, kegiatan seseorang yang ketika menyebrang jalan. Aktivitas ini dapat dijelaskan sebagai aktivitas fisik yang dipicu oleh saraf yang merangsang otot kaki sehingga orang tersebut berjalan untuk menyebrang. Aksi ini juga dapat dijelaskan tanpa melibatkan aktivitas fisik, dimana aktivitas ini berjalan dimulai ketika ia menerima rangsangan lampu hijau yang menandakan dia boleh menyebrang.
Begitu pula dengan cara menjelaskan psikologi, dapat dibahas dari berbagai pendekatan yang berbeda. Pada kesempatan ini akan diuraikan lima pendekatan berdasrkan Konsep Psikologi Modern. Kelima pendekatan ini tidak mutually exlusive; namun kelimanya fokus pada aspek tertentu yang berbeda sebagai reaksi terhadap suatu masalah yang dihadapinya.Pada studi psikologi, tidak ada pendekatan yang benar atau salah. Kelima pendekatan psikologi tersebut adalah :


a). PENDEKATAN BIOLOGISARAF
Otak manusia yang terdiri dari + 12 milyard sel saraf dengan jumlah interkoneksi yang tidak terhitung, mungkin merupakan struktur paling rumit yang ada di dunia ini. Pada prinsipnya, setiap kejadian yang dilakukan / dialami seseorang, merupakan penjabaran aktivitas otak beserta sistem sarafnya. Dengan demikian, kita dapat memahami aspek perilaku seseorang, berdasarkan pemahaman tentang proses kerja antara otak dengan sistem sarafnya. Sebagai contoh, proses belajar dapat dijelaskan dari perspektif biologisaraf sebagai proses perubahan pengetahuan yang disimpan pada suatu sistem baru hasil pembelajaran. Begitu pula, persepsi dapat dipelajari sebagai aktivitas pencatatan pada sel saraf otak ketika mata menangkap dan memproyeksikan suatu informasi ke otak.
Penemuan baru sangat meyakinkan bahwa terdapat hubungan yang sangat erat antara aktivitas-aktivitas otak dengan perilaku dan pengalaman. Reaksi emosional, misalnya rasa cemas, dapat ditimbulkan pada seekor bintang dengan memberikan suatu rangsangan elektris pada area spesifik disekitar otak bagian dalam. Rangsangan elektris dapat menimbulkan sensasi tentang hal-hal yang menyenangkan atau sebaliknya menyedihkan, walaupun pada dasarnya kita memiliki memori yang baik di masa lalu.
Perkembangan pendekatan ini mengalami hambatan karena keterbatasan kita untuk memahami otak manusia yang sangat kompleks. Untuk itu, pendekatan lain jauh lebih cepat berkembang.
b). PENDEKATAN PERILAKU
Seseorang yang makan pagi, naik sepeda, tertawa, bicara, menangis, merupakan bentuk-bentuk perilaku manusia sehari-hari, dimana proses kejadiannya (aktivitasnya) dapat diobservasi. Pendekatan perilaku ini mulai dikembangkan oleh psikolog Amerika – John B. Watson awal 1990-an. Sebelumnya, psikologi didefinisikan sebagai studi mental, dimana data-datanya diperoleh sebagai hasil observasi sendiri (self observation) yang direkam dalam form introspeksi.
Introspeksi merupakan catatan individual melalui observasi dan pencatatan yang teliti tentang persepsi dan perasaan seseorang pada suatu periode tertentu. Introspeksi merupakan suatu pendekatan yang hanya dapat menghasilkan gambaran secara individual/bersifat privat, tidak dapat digeneralisir.
Watson menyatakan bahwa introspeksi merupakan pendekatan yang sia-sia. Ia harus bisa diobservasi dan dapat diukur. Hanya anda yang dapat mengintrospeksi persepsi dan perasaan anda, namun orang lain hanya dapat mengobservasi perilaku anda. Watson mengatakan bahwa hanya dengan pendekatan observasi, kita dapat mengenal perilaku seseorang sebagai ilmu psikologi yang objektif.
Perkembangan lain dari pendekatan perilaku, adalah Stimulus-Response (SR) Psikologi, yang dikembangkan oleh BF Skinner (Psikolog Harvard), yang lebih konsentrasi pada apa yang menjadi input (rangsangan) dan apa outputnya (respon), sehingga sering disebut pendekatan black-box (tidak memperhatikan bagaimana proses di dalam organisasinya). Dari pendekatan ini, sebagai contoh, berkembang pendekatan reward and punishment – yang dapat mendorong terjadinya proses pembelajaran bagi manusia dengan cepat serta meminimasi kesalahan.

c). PENDEKATAN KOGNITIF
Ahli Psikologi Kognitif berargumentasi bahwa manusia bukan merupakan respetor suatu rangsangan yang pasif namun setiap rangsangan akan diproses secara aktif, dimana infomasi akan diterima (melalui penglihatan, pendengaran atau ingatan) dan ditransformasikan dalam bentuk dan katagori baru di dalam otak, untuk kemudian digunakan sebagai dasar untuk melakukan aktivitas (berbicara, membaca, atau belajar).
Kognitif merupakan proses mental dari persepsi, memori dan proses pengolahan informasi, sehingga seseorang dapat memiliki pengetahuan baru, memecahkan masalah, atau menyusun rencana untuk masa depan. Psikologi kognitif merupakan studi saintifik tentang kognisi – tujuannya untuk mengembangkan teori yang dapat menjelaskan bagaimana berorganisasi dan berfungsinya proses mental – proses menerima, memilih, menggunakan stimulus (informasi) untuk digunakan sebagai dasar bertindak, membuat keputusan atau membuat rencana (dekat dengan pendekatan SR Psikologi dan berbeda dari pendekatan Biologi saraf). ”Mental model of reality” merupakan cikal-bakal Psikologi Kognitif.
Kenneth Craik, seorang psikologi Inggris dan sebagai seorang pionir psikologi kognitif, menyatakan bahwa otak manusia seperti komputer yang memiliki kemampuan untuk modeling atau bekerja paralel. Pendekatan Psikolog Kognitif analog dengan kerja komputer (sistem pengolah informasi) – dimana infomasi yang masuk diproses dengan berbagai cara: dipilih, diambil, dan dibandingkan dengan informasi lain yang dimiliki dalam memori, ditansformasi, disusun, dan sebaainya. Respon hasil tergantung pada proses internal dan kondisi sesaat.

d). PENDEKATAN PSIKOANALITIK
Konsep psikoanalitik tentang perilaku manusia dikembangkan oleh Sigmund Freud dari Eropa, bersamaan dengan lahirnya pendekatan perilaku dari AS. Aliran ini berkembang berdasarkan suatu konsep bahwa perilaku manusia pada dasarnya merupakan suatu unjuk laku yang muncul akibat proses di bawah sadar. Dengan proses di bawah sadar tersebut, berarti cara berpikir, rasa takut atau keinginan seseorang akan muncul secara tidak sadar, dan berpengaruh pada perilaku. Freud percaya bahwa impulse-impulse bawah sadar seseorang terbentuk karena dorongan atau sebaliknya akan mati karena perlakuan-perlakuan yang diterima seseorang dari lingkungannya (keluarga atau masyarakat sekitarnya) sejak masa kecil. Impulse-impulse tersebut biasanya muncul pada saat mimpi, kesalahan-kesalahan saat bicara, atau gejala-gejala sakit mental.
Teori Freud ini menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia itu bukan mahkluk rasional. Freud menilai kehidupan manusia dari sisi negatif – manusia memiliki instink dasar sama dengan hewan (perilaku manusia berdasrkan pada kebutuhan dasar sex dan bersifat agresif) dan selalu bertentangan dengan nilai-nilai kehidupan sosial (sebagai pengendali instink dasar manusia). Mengingat manusia itu memiliki instink dasar seperti hewan, maka Freud merasa pesimis bahwa manusia akan mampu hidup bersama secara damai.

e). PENDEKATAN PHENOMENOLOGI
Pendekatan phenomenologi fokus pada pengalaman subjektif – dimulai dengan pemahaman seseorang tentang dunia, kemudian secara personal ia melakukan suatu aktiftas berdasarkan interpretasi tentang kejadian-kejadian yang ia lihat. Aktifitas seseorang merupakan hasil interpretasi atas pemahaman tentang suatu kejadian atau fenomena yang diinterasiksikan dengan pengalaman yang ia miliki (walaupun tanpa teori).
Konsep Psikologi phenomenologikal dimulai dengan mempelajari karakter alami manusia dalam menginterpretasikan dirinya dan dunianya, yang dapat dipelajari melalui observasi setiap aktifitasnya. Dua orang manusia akan menunjukkan reaksi yang berbeda terhadap suatu perlakuan/situasi yang sama; dengan bertanya bagaimana interpretasi masing-masing terhadap situasi yang mereka hadapi, kita akan memahami perilakunya.
Pendekatan phenomenologikal cenderung menolak konsep bahwa perilaku seseorang dikendalikan oleh bawah sadar (teori Psikoanalitik), atau merupakan reaksi terhadap faktor-faktor luar (teori perlilaku). Mereka percaya bahwa perilaku seseorang bukan merupakan reaksi atas kekuatan-kekuatan luar yang terkendali, namun merupakan suatu aktualisasi diri sebagai seorang aktor yang mampu melawan takdir. Konsep ini berawal dari keyakinan bahwa setiap manusia mampu membangun jalan hidupnya masing-masing, karena kita memiliki kebebasan untuk memilih dan menentukan tujuan hidup, sehingga kita dapat menyusun rencana untuk memilih jalan hidupnya. Ini merupakan isu antara free will versus determinism. Idea phenomenologikal ini sejalan dengan pemikiran-pemikiran Kiergegaard, Sartre dan Camus.
Teori phenomenologi juga sering disebut humanistik, karena pendekatan ini membedakan secara tegas antara manusia dengan binatang – khususnya sehubungan dengan konsep kebebasan untuk menemukan aktualisasi diri. Sehubungan dengan teori humanistik ini, dikembangkan teori-teori motivasi untuk menumbuhkan dan membangun aktualisasi diri seseorang. Semua dari kita pada dasarnya menuntut kebutuhan dasar untuk mengembangkan potensi (kompetensi) untuk berkarya menghasilkan sesuatu melebihi apa yang secara normal dapat kita perkirakan.

f). APLIKASI DARI PENDEKATAN-PENDEKATAN TERSEBUT
Setiap aspek psikologi, pada dasarnya dapat dibahas dari berbagai dimensi pendekatan di atas. Sebagai contoh, dalam studi tentang agresi, psikologi fisiologikal akan tertarik dengan mempelajari mekanisme otak yang akan mempengaruhi perilaku seseorang. Untuk itu, banyak eksperimen untuk memahami agresi seekor binatang dengan memberikan stimulasi elektrikal atau kimia pada area tertentu dari otaknya. Psikologi perilaku, akan tertarik untuk mempelajari jenis-jenis pengalaman belajar seseorang, sehingga kita dapat memahami mengapa ia lebih agresif dibandingkan dengan lainnya ketika memperoleh suatu perlakuan. Lebih jauh, kita dapat meneliti faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku seseorang. Psikologi kognitif lebih fokus untuk memahami bagaimana seseorang memiliki kesan atas suatu kejadian di dalam pikirannya dan bagaimana representasi mentalnya dapat dimodifikasi karena adanya informasi baru. Psikologi humanistik akan fokus untuk memahami aspek-aspek situasi kehidupan individual dalam menyalurkan sifat agresifitasnya menjadi progres untuk menumbuhkan aktualisasi diri.
Setiap pendekatan akan memberikan solusi yang berbeda dalam merubah perilaku seseorang. Sebagai contoh, psikolog fisiologi akan menganjurkan obat atau operasi untuk mengendalikan agresifitas seseorang. Pendekatan perilaku akan menganjurkan untuk memodifikasi kondisi lingkungan kerja untuk mendorong terbentuknya pengalaman belajar baru, misalnya dengan memberikan penghargaan pada perilaku nonaagesif. Psikolog kognitif akan menganjurkan pendekatan seperti pendekatan perilaku, walaupun ia akan lebih fokus pada proses mental aindividual dan proses pengolahan keputusan seseorang khususnya pada situasi yang kompleks (emosional). Psikoanalis akan konsentrasi untuk memahami latar belakang suburnya bawah sadar seseorang yang mendorong rasa kebencian untuk kemudian mencoba menemukan saluran perilakunya yang dapat diterima masyarakat. Sedangkan psikolog humanistik akan berusaha menolong manusia untuk dapat menampilkan perasaannya (feelings) serta membantu agar dia dapat memperbaiki kemampuan interpersonal. Garis besar tujuan aliran psikolog humanistik adalah melakukan rekayasa aspek-aspek sosial untuk mendorong semangat kompetisi dan agresi seseorang dibandingkan semangat kooperasinya.



sumber :SITI NURHIDAYAH

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
PROGRAM STUDI D2 PGTK

Membaca Pikiran Orang Lain Dalam Kehidupan Sehari-hari

Membaca Pikiran Orang Lain Dalam Kehidupan Sehari-hari
Posted on Selasa, 25 Desember 2007. Filed under: emosi, persepsi | Tags: nonverbal |

Banyak anggapan bahwa membaca pikiran adalah pekerjaan seorang psikolog, paranormal atau dukun. Namun dalam kehidupan sehari-hari, anda semua adalah seorang pembaca pikiran. Tanpa kemampuan mengetahui pikiran dan perasaan orang lain, kita tidak mampu menghadapi situasi sosial semudah apapun. Dengan membaca pikiran, kita dapat mengira-ngira tingkah laku seseorang lalu kita dapat menentukan keputusan berikutnya.
Jika kita membaca pikiran dengan buruk, maka dapat timbul konflik karena salah paham. Contoh kesulitan mengenali pikiran dan perasaan orang lain yang disebut mindblindness, dapat dilihat pada penyandang autisme, dimana ketidakmampuan tersebut menjadi kondisi yang mengganggu. Kemampuan membaca pikiran oleh William Ickes, profesor psikologi di University of Texas menyebutnya emphatic accuracy.

Darimana Asalnya?
Kemampuan membaca pikiran menurut Ross Buck seorang profesor Communication Sciences di University of Connecticut, berasal dari jutaan tahun evolusi, sistem komunikasi manusia berkembang lebih rumit saat kehidupan menjadi lebih kompleks. Membaca pikiran lantas menjadi alat untuk menciptakan dan menjaga keteraturan sosial seperti membantu mengetahui kapan harus menyetujui sebuah komitmen dengan pasangan atau melerai perselisihan dengan tetangga.
Kemampuan ini muncul sejak lahir. Bayi yang baru lahir lebih menyukai wajah seseorang dibanding stimulus lainnya, dan bayi berusia beberapa minggu sudah mampu menirukan ekspresi wajah. Dalam dua bulan, bayi mampu memahami dan merespon keadaan emosional dari pengasuhnya. Nancy Eisenberg, profesor psikologi di Arizona State University dan ahli perkembangan emosional menuturkan, bayi berusia satu tahun mampu mengamati ekspresi orang dewasa dan menggunakannya untuk menentukan tingkah laku berikutnya. Bayi usia dua tahun mampu menyimpulkan keinginan orang lain dari tatapan matanya. Di usia tiga tahun, bayi dapat mengenali ekspresi wajah gembira, sedih atau marah. Saat usia lima tahun, bayi memiliki kemampuan dasar membaca pikiran orang lain. Mereka memiliki “teori pikiran.” Bayi mampu memahami bahwa orang lain memiliki pemikiran, perasaan dan kepercayaan yang berbeda dengan mereka.
Anak-anak tadi mengembangkan kemampuan membaca pikiran dengan mengamati pembicaraan orang dewasa, mereka membedakan kompleksitas aturan dan interaksi sosial. Selain itu, kegiatan bermain dengan teman sebaya dapat melatih anak membaca pikiran anak lainnya. Namun, tak semua anak bisa mengembangkan kemampuan ini. Anak yang mengalami penelantaran dan kekerasan cenderung mengalami hambatan dalam mengembangkan kemampuan membaca pikiran. Contohnya anak yang dibesarkan dalam keluarga penuh dengan kekerasan, jauh lebih peka terhadap ekspresi marah, walaupun sesungguhnya emosi itu tidak muncul.
Kemampuan membaca pikiran yang lebih maju muncul pada masa remaja akhir. Sebab kemampuan menyimpan perspektif dari beberapa orang di saat yang sama kemudian mengintegrasikannya dengan pengetahuan kita dan orang yang bersangkutan itu membutuhkan kemampuan otak yang jauh berkembang.

Bagaimana Membaca Pikiran?
1. Membaca bahasa tubuh adalah komponen inti dari membaca pikiran. Kita bisa tahu emosi dasar seseorang. Peneliti menemukan, ketika seseorang mengamati gerak tubuh orang lain mereka dapat mengenali emosi sedih, marah, gembira, takut dan lain-lain. Bahkan ketika pengamatan hanya dilakukan dengan pencahayaan yang minim.
2. Ekspresi wajah merupakan penanda untuk mengetahui pikiran orang lain. Namun banyak dari kita tidak mampu mendeteksi ekpresi ini. Salah satu sumber yang kaya akan penanda ini adalah otot-otot sekitar mata. Mata adalah penanda paling kaya jika dibandingkan bagian lain wajah. Contohnya: mata yang turun ketika sedih, terbuka lebar ketika takut, tidak fokus ketika berkhayal, menatap tajam penuh kecemburuan, atau menatap sekitarnya ketika tidak sabar.
Kita dapat semakin tahu pikiran orang dari komponen-komponen dalam percakapan misalnya kata-kata, gerak tubuh, dan nada suara. Namun diantara ketiganya, Ickes menemukan isi pembicaraan menjadi komponen penting dalam membaca pikiran dengan baik.

Menjadi Pembaca Pikiran Ulung
Tim dari Psychology Today merumuskan beberapa hal untuk membantu membaca pikiran.
1. Kenalilah Orang Lain.
“Kemampuan membaca pikiran akan meningkat, semakin kita mengenal lawan bicara kita,” kata William Ickes. Jika kita berinteraksi dengan seseorang selama kurang lebih sebulan, kita akan lebih mudah untuk mengenali apa yang ia pikirkan dan rasakan. Hal tersebut dapat terjadi karena: kita mampu mengartikan kata-kata dan tidakan orang lain dengan lebih tepat, setelah mengamatinya dalam berbagai situasi; kedua, kita mengetahui apa yang terjadi dalam hidup mereka, dan mampu menggunakan pengetahuan itu untuk memahami mereka dalam konteks yang lebih luas.
2. Minta Umpan Balik.
Penelitian menunjukkan bahwa kita dapat meningkatkan kemampuan membaca dengan cara menanyakan kebenaran dari tebakan kita. Misalnya, “Saya mendengar, sepertinya Engkau sedang marah. Benar tidak?”
3. Perhatikan Bagian Atas dari Wajah.
Emosi yang palsu, biasanya diungkapkan pada bagian bawah wajah seseorang. Sedangkan, menurut Calin Prodan—profesor neurologi di University of Oklahoma Health Sciences Center, emosi utama bisa dilihat dari sebagian ke atas wajah, biasanya di sekitar mata.
4. Lebih Ekspresif.
Ekspresivitas emosi cenderung timbal balik. Ross Buck mengatakan, “semakin kita ekspresif, semakin banyak pula kita akan mendapat informasi mengenai kondisi emosional dari orang lain di sekitar kita.”
5. Santai.
Menurut Lavinia Plonka, pengarang Walking Your Talk, seseorang cenderung “menyamakan diri” dengan lawan bicaranya melalui postur tubuh dan pola napas. Jika anda merasa tegang, teman bicara anda bisa saja, secara tidak sadar, menjadi tegang pula lalu terhambat, dan akhirnya menjadi sulit untuk dibaca. Ambilah napas panjang, senyumlah, dan coba untuk menampilkan keterbukaan dan penerimaan kepada siapapun yang bersama anda.
6. Tinjauan Kritis
Perlu kita ingat, bahwa ekspresi emosi bisa berbeda di berbagai budaya. Ekspresi sedih di satu budaya, bisa jadi diinterpretasikan sebagai emosi lain di budaya lain. Jadi jika ingin membaca seseorang, kita perlu memperhatikan pula unsur budaya yang berlaku di tempat tinggal orang itu, jangan sampai salah menebak, atau bahkan memicu terjadinya kesalah pahaman.
Kita juga tak bisa mengesampingkan fenomena membaca pikiran ini sebagai sebuah fenomena yang biasa diasosisasikan dengan kemampuan supranatural, sebab percaya tidak percaya, memang ada orang-orang yang memiliki kemampuan untuk membaca pikiran yang sulit dijelaskan ilmu pengetahuan. Setidaknya penulis telah menemukan beberapa orang dengan kemampuan membaca pikiran, yang bahkan mampu melihat masa depan dan berbagai macam hal yang sulit diterima nalar.

Feminisme Dalam Dunia Psikologi

Beberapa Hal Penting dari Belajar Konsumen

1.Belajar adalah suatu proses yang berkelanjutan konsumen tidak akan pernah berhenti belajar; ia akan menerima info setiap saat, dimanapun. Pengetahuan diperoleh dari membaca, mendengar, dan berpikir dari pengalamannya. Hal tersebut akan berpengaruh pada keputusan konsumen (apa yang dibeli dan yang dikonsumsinya).
2.Pengalaman memainkan peranan dalam proses belajar
a.Belajar tidak selalu disengaja, belajar adalah proses mencari info yang secara sungguh2 dan sengaja dilakukan konsumen (intentional learning)
b.Belajar tidak disengaja (incidental learning) misalnya pernah ditawari mencicipi produk, ternyata rasa enak dan cocok di lidah, dari hal tersebut kita memperoleh pengalaman baru, mengenal dan mengkonsumsinya. Pengalaman positif yang kita dapatkan tersebut akan membuat kita untuk membelinya lagi suatu saat nanti.
3.Terminologi belajar memiliki makna yang luas
a.Belajar dapat memiliki makna sederhana.
b.Belajar dapat berarti sesuatu yang lebih rumit

Syarat Proses Belajar
1.Motivasi
Merupakan daya dorong dari dalam diri konsumen untuk belajar
Isyarat
Stimulus yang mengarahkan motivasi tersebut. Isyarat mempengaruhi cara konsumen bereaksi terhadap motivasi.
Respons
Merupakan reaksi konsumen terhadap isyarat. Respon terhadap isyarat akan dipengaruhi oleh proses belajar di masa lalunya.
Pendorong atau Penguatan
Sesuatu yang meningkatkan kecenderungan konsumen untuk berperilaku pada masa yang akan datang karena adanya isyarat atau stimulus

Jenis-jenis Proses Belajar
Proses belajar kognitif (cognitive approach)
Proses belajar yang dicirikan adanya perubahan pengetahuan, yang menekankan pada proses mental konsumen untuk mempelajari informasi. Proses belajar kognitif membahas bagaimana info ditransfer dan disimpan di memori jangka panjang (Engel, Blackwell, dan Miniard, 1994)
Proses belajar perilaku (behaviorist approach)
Proses belajar yang terjadi ketika konsumen bereaksi terhadap lingkungannya atau stimulus luar. Mowen dan Minor (1998, hal. 130) menyatakan bahwa proses belajar perilaku merupakan proses dimana pengalaman dengan lingkungannya akan menyebabkan perubahan perilaku yang relatif permanen sedangkan Solomon (1999) mengatakan proses belajar perilaku merupakan proses belajar yang terjadi karena respon konsumen terhadap stimulus atau lingkungan konsumen.

Proses Belajar Perilaku dibagi menjadi tigaClassical conditioning
Suatu teori belajar yang mengutarakan bahwa makhluk hidup (manusia atau binatang) adalah makhluk hidup pasif yang dapat diajarkan perilaku tertentu melalui pengulangan (repetition atau conditioning) Kanuk dan Schiffman (2000) menjelaskan bahwa Classical Conditioning terjadi pada konsumen ketika ia dapat membuat asosiasi antara stimulus yang datang pada dirinya dan bereaksi terhadap stimulus tersebut. Aplikasinya dalam pemasaran antara lain :
Pengulangan (repetition)
Proses menyampaikan pesan kepada konsumen berulang kali dengan frekuensi berkali-kali. Penayangan pertama berfungsi untuk menciptakan kesadaran atau perhatian konsumen pada merk, kemudian yang kedua berfungsi untuk memperlihatkan relevansi produk yang diiklankan dengan kebutuhan konsumen, yang terakhir berfungsi untuk mengingatkan konsumen pada manfaat produk.
Generalisasi stimulus (stimulus generalization)
Kemampuan konsumen untuk bereaksi terhadap stimulus yang relatif berbeda. Dalam pemasaran :
- Perluasan Lini Produk (produk line extention)
Prinsip generalisasi stimulus diterapkan oleh perusahaan dengan cara menambahkan produk baru yang terkait atau sejenis kepada produk lama dengan merk yang sudah ternama.
- Merek Keluarga (family branding)
Generalisasi stimulus dalam bidang pemasaran dengan memberikan merk yang sama kepada semua lini produk oleh sebuah perusahaan.
- Me-too Products (look-alike packaging)
Konsep yang membuat kemasan mirip dengan kemasan produk pesaing, yang biasa melakukan ini adalah follower yang berusaha membuat kemiripan dengan produk pemimpin pasar.
- Similar Name
Bukan hanya kemasan yang mirip tapi merk juga hampir mirip
- Licensing
Praktik pemberian merek dengan menggunakan nama-nama selebriti, nama desainer, nama perusahaan, tokoh film kartun dll
- Generalisasi Situasi Pemakaian (generalizing usage situation)
Pemasar melakukan perluasan pemakaian dari produk2 yang sudah terkenal
Diskriminasi stimulus (stimulus discrimonation)
Konsumen diharapkan dapat mengambil kesimpulan berbeda terhadap beberapa stimulus yang mirip satu dengan yang lain
- Positioning
Positioning suatu produk atau merk adalah citra atau image atau persepsi yang dimiliki konsumen terhadap produk tersebut.
- Differentiation
Pemasar berusaha mengkomunikasikan berbagai atribut dari produknya yang berbeda atau yang tidak dimiliki produk lain.
2. Instrumental conditioning (operant conditioning)
Ketika konsumen memutuskan membeli suatu produk karena rewards, maka ia telah belajar proses belajar instrumental conditioning yaitu proses belajar yang terjadi pada diri konsumen akibat konsumen menerima imbalan (reward) karena mengkonsumsi suatu produk sebelumnya.
Beberapa konsep operant
Penguatan positif (positive reinforcement)
Hal-hal positif (reward, positive uotcome, positive consequence) yang diterima konsumen karena mengkonsumsi atau membeli produk. Pengaruh yang positif akan meningkatkan kecenderungan seorang konsumen untuk membeli ulang produk
Penguata negatif (negative reinforcement)
Hal-hal negatif yang selalu tidak menyenangkan (unpleasant atau negative outcome atau reward atau negative consequence) akan dirasakan konsumen karena ia tidak mengkonsumsi atau membeli suatu produk atau jasa. Negative reinforcement akan meningkatkan kecenderungan seseorang untuk membeli produk untuk menghilangkan negative reinforcement.
Hukuman (punishment)
Hal-hal negatif atau tidak menyenangkan yang diterima konsumen karena dia melakukan suatu perbuatan. Hukuman tersebut akan mengurangi kecenderungan konsumen untuk melakukan perbuatan itu lagi.
Kepunahan (extinction)
Muncul ketika konsumen menganggap bahwa stimulus tidak dapat memberikan kepuasan yang diharapkannya. Produk yang dikeluarkan dianggap telah mengecewakan konsumen.
Forgetting (kelupaan)
Menyebabkan konsumen tidak lagi membeli produk karena produk tersebut tidak diproduksi lagi, sehingga tidak pernah keluar di pasar.
Shaping
Konsumen diarahkan untuk melakukan suatu perilaku sebelum dia dapat melakukan perilaku yang diharapkan produsen.

Teori Belajar Clark L. Hull

A. Riwayat Clark L Hull
Leonard Clark Hull dilahirkan di Akron, New York pada 24 Mei 1884. Ia dibesarkan di Michigan, dan mendiami satu kelas selama bertahun-tahun. Hull mempunyai masalah kesehatan di mata. Orang tuanya miskin, dan Hull pernah menderita polio. Pendidikan yang ditempuhnya beberapa kali terputus karena sakit dan masalah keuangan. Tetapi setelah lulus, dia memenuhi syarat sebagai guru dan menghabiskan banyak waktunya untuk mengajar di sekolah negeri yang kecil di Sickle, Michigan. Setelah memperoleh bachelor dan gelar master di Universitas Michigan, ia beralih ke psikologi, dan menerima Ph.D. psikologi di tahun 1918 dari University of Wisconsin, dimana dia tinggal selama sepuluh tahun sebagai instruktur. Penelitian doktornya pada "Aspek kuantitatif dari Evolution of Concepts" telah diterbitkan dalam Psychological Monographs. Selama waktu itu, Hull mempelajari efek dari merokok tembakau pada kinerja, yang kemudian dibahasnya pada beberapa literatur yang disertai dengan pengujian, selanjutnya mulai penelitian tentang saran dan hipnose. Pada 1929, Clark Hull melanjutkan penelitiannya di Yale University dan mulai serius terhadap perkembangan teori perilakunya. Sampai akhir karirnya, Hull dan mahasiswa didominasi behavioristik psikologi. Clark Hull meninggal pada 10 Mei 1952, di New Haven, Connecticut.
Hull adalah seorang tokoh teori belajar behavioristik. Hull tertarik dengan teori belajar yang membuat dia menghasilkan beberapa buku yang berhubungan dengan teori belajar, antara lain Mathematico_Deductive Theory of Role Learning yang ditulis bersama-sama dengan Hovland, Perkins, dan Fitch. Hull juga menulis Principles of Behavior dan Essentials of Behavior. Buku terakhir yang ditulisnya adalah A Behavior System. Selain menulis buku Hull juga menulis sejumlah artikel bagi majalah-majalah profesional.

B. Konsep dan Teori
Clark L. Hull mendasarkan teori belajarnya pada tingkah laku yang diselidiki dengan hubungan perkuatan S-R. Metode yang digunakan merupakan metode matematika, deduktif, dan dapat dites atau diuji. Teori dari Hull sebenarnya tidak jauh beda dengan teori belajar lainnya. Beberapa persamaan teori belajar Hull dengan teori belajar sebelumnya adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan asosiasi S-R
2. Berdasarkan cara melangsungkan hidup.
3. Berdasarkan kebutuhan biologis dan pemenuhannya.
4. Orientasinya kepada teori Pavlov.
Hull juga mengembangkan beberapa definisi, antara lain:
1. Kebutuhan (Need)
Kebutuhan merupakan keadaan organisme yang menyimpang dari kondisi biologis optimum pada umumnya yang digunakan untuk melangsungkan hidupnya. Jika kebutuhan tersebut timbul maka organisme akan bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, hal tersebut dinamakan mereduksi kebutuhan dan teori belajarnya disebut teori reduksi kebutuhan atau need reduction theory.
2. Dorongan (Drive)
Kondisi kekosongan ganda organisme sehingga mendorong untuk melakukan sesuatu. Istilah lain dari dorongan adalah motiv. Adakalanya seseorang merasa ingin melakukan sesuatu namun orang tersebut tidak memiliki dorongan untuk melakukannya.
3. Perkuatan (Reinforcement)
Sesuatu yang dapat memperkuat hubungan S-R, dan respon terhadap stimulus tersebut dapat mengurangi ketegangan kebutuhan. Perkuatan biasanya berupa hadiah.
Kebutuhan yang timbul akan menyebabkan terbentuknya suatu perilaku yang akan mereduksi kebutuhan secara berangsur-angsur yang dapat dipelajari responnya. Stimulus yang dapat menimbulkan respon adalah stimulus yang mengenai saraf sensoris atau reseptor kemudian menimbulkan impuls yang masuk afferent, yaitu saraf gerak dan dapat mengaktifkan otot-otot maskuler.
S dengan huruf besar merupakan stimulus dan obyeknya. S dengan huruf kecil merupakan stimulus dalam organisme, stimulus yang sudah berupa impuls. Impuls merupakan perangsang atau stimulus yang sudah ada dan bekerja dalam saraf. Dalam teori kali ini yang akan kita pakai s dengan huruf besar.
Hull membedakan tendensi untuk timbulnya R dan r. R untuk respon yang nampak, faktual, dan r adalah predisposisi respon yang masih dalam aktivitas saraf. r merupakan respon yang masih ada didalam organisme, jadi tidak nampak, tapi mempengaruhi tingkah laku. Hull mengganti S-R menjadi SHR, dimana H merupakan habit.
Hull membedakan antara learning dengan performance. Tindakan dipengaruhi oleh banyak hal, tetapi belajar hanya dipengaruhi oleh faktor jumlah waktu, respon khusus terjadi karena kontinu dengan perkuatan. Menurut Hull tingkah laku bersumber pada kebutuhan yang merupakan tuntutan hidup.
C. Postulat yang Diajukan Oleh Hull
Hull mengajukan enam belas postulat dalam cakupan enam hal yakni sebagia berikut:
1. Tanda-tanda luar yang mendorong atau membimbing tingkah laku dan representasi neuralnya atau saraf.
Postulat 1: Impuls saraf afferent dan bekas lanjutannya.
Jika suatu perangsang mengenai reseptor, maka timbullah impuls saraf afferent dengan cepat mencapai puncak intensitasnya dan kemudian berkurang secara berangsur-angsur. Sesaat saraf afferent berisi impuls dan diteruskan kepada saraf sentral dala beberapa detik dan seterusnya timbul respon. S-R diubah menjadi S-s-R atau S-s-r-R. Simbol s adalah impuls atau stimulus trace dalam saraf sensoris, dan simbol r adalah impuls respon yang masih dalam saraf fferent.
Postulat 2: Interaksi saraf afferent
Impuls dalam suatu saraf afferent dapat diteruskan ke satu atau lebih saraf afferent lainnya. R timbul tidak hanya karena satu stimulus, tetapi lebih dari satu S yang lalu terjadi kombinasi berbagai stimulus. Rumusnya akan berubah menjadi S-r-R.
2. Respon terhadap kebutuhan, hadiah dan kekuatan kebiasaan.
Postulat 3: Respon-respon bawaan terhadap kebutuhan (tingkah laku yang tidak dipelajari)
Sejak lahir organisme mempunyai hierarki respon penentu kebutuhannya yang timbul karena ada rangsangan-rangsangandan dorongan. Respon terhadap kebutuhan tertentu bukan merupakan respon pilihan secara random, tetapi respon yang memang ditentukan oleh kebutuhannya, misalnya mata kena debu maka mata berkedip dan keluar air mata.
Postulat 4: Hadiah dan kekuatan kebiasaan; kontiguitas dan Reduksi Dorongan sebagai kondisi-kondisi untuk belajar.
Kekuatan kebiasaan akan bertambah jika kegiatan-kegiatan reseptor dan efektor terjadi dalam persamaan waktu yang menyebabkan hubungan kontiguitif dengan hadiah pertama dan hadiah kedua. Simbol kekuatan kebiasaan adalah sHs.
3. Stimulus pengganti (ekuaivalen)
Postulat 5: Generalisasi (penyamarataan)
Kekuatan kebiasaan yang efektif timbul karena stimulus lain daripada stimulus pertama yang menjadi persyaratan bergantung kepada penindakan stimulus kedua dari yang pertama dalam kesatuan yang terus menerus dari ambang perbedaan, dengan kata lain yang ingin dibentuk merupakan hasil rata-rata persyaratan stimulus berikutnya.
4. Dorongan-dorongan sebagai akitivator respon.
Postulat 6: Stimulus dorongan
Hubungan dengan tiap-tiap dorongan adalah stimulus dorongan karakteristik yang intensitasnya meningkat dengan kekuatan dorongan.
Postulat 7: Potensi reaksi yang ditimbulkan oleh dorongan .
Kekuatan kebiasaan disintesiskan kedalam potensi reaksi dengan dorongan-dorongan primer yang timbul pada saat tertentu.
5. Faktor-faktor yang melawan respon-respon
Postulat 8: Pengekangan reaksi
Timbulnya suatu reaksi menyebabkan pengekangan reaksi yang lain. Suatu kejemuan untuk mengulangi respon. Pengekangan reaksi adalah penghamburan waktu yang spontan.
Postulat 9: Pengekangan yang dikondisikan (diisyaratkan)
Stimuli yang dihubungkan dengan penghentian respon menjadi pengekangan yang dikondisikan.
Postulat 10: Osilasi pengekangan
Potensial pengekangan dihubungkan dengan potensial reaksi yang bergoyang terus menerus pada waktu itu.
6. Bangkitnya respon.
Postulat 11: Reaksi ambang perangsang
Potensi reaksi efektif yang momentum harus melampaui reaksi ambang perangsang sebelum stimulus membangkitkan reaksi.
Postulat 12: Kemungkinan reaksi diatas ambang perangsang.
Kemungkinan respon adalah fungsi normal dari potensi reaksi efektif melampaui reaksi ambang perangsang.
Postulat 13: Latensi (keadaan diam atau berhenti)
Makin potensi reaksi efektif melampaui reaksi ambang perangsang makin pendek latensi respon, artinya respon makin cepat timbul.
Postulat 14: Hambatan berhenti (ekstingsi)
Makin besar potensi reaksi efektif, makin besar respon yang timbul tanpa perkuatan, sebelum berhenti atau ekstingsi.
Postulat 15: Amplitudo respon (besarnya respon)
Besarnya dorongan dilantari atau disebabkan oleh peningkatan kekuatan potensi efektif reaksi dalam sistem saraf otonom.
Postulat 16: Respon-respon yang bertentangan
Jika potensi-potensi reaksi kepada dua atau lebih respon-respon yang bertentangan terjadi dalam organisme pada waktu yang sama, maka hanya reaksi yang mempunyai potensi reaksi yang lebih besar akan terjadi responnya.
Hull mengajukan postulat-postulat tersebut dengan maksud ingin mempelajari terbentuknya tingkah laku secara sistematis dan matematis. Dari enam belas postulat yang menjadi inti adalah postulat nomor empat, yakni mengenai hadiah dan kekuatan kebiasaan. Jika suatu kegiatan efektor (r - R) dan kegiatan reseptor (S-s) terjadi secara kontigu waktu dan hal ini secara tepat berhubungan dengan pengurangan kebutuhan (G) atau dengan suatu stimulus yang telah secara tetap berhubungan dengan kebutuhan, hasilnya akan tetap meningkatkan kepada suatu kecenderungan bagi impuls afferent untuk menimbulkan reaksi.
Peningkatan dari hadiah yang berturut-turut memuncak terbentuknya kombinasi kekuatan kebiasaan yang bergantung kepada peningkatan hadiah. Jika ditarik esensi teori belajar pada analisis Hull adalah operasi dasar hadiah, pengaruh ulangan, dan gradiasi hadiah. Untuk merumuskan kembali apa yang dimaksud di atas adalah sebagai berikut:
• Bahwa belajar bergantung kepada kontiguitas S dan R yang berhubungan dengan hadiah dalam arti pereduksi kebutuhan. Hal ini mirip dengan hukum efek dari Thorndike.
• Bahwa belajar digambarkan sebagai pertumbuhan fungsi sederhana, adalah berdasarkan asumsi bahwa peningkatan kekuatan kebiasaan dengan setiap hadiah adalah bagian tetap dari peningkatan sisa yang dipelajari. Sebab makin kecil yang harus dikuasai pada awal belajar dan makin kecil pada akhir belajar.
• Bahwa batas atas M asosiasi antara S dan R bergantung kepada besarnya hadiah dan hadiah yang tertunda.
Hull mengemukakan ada tiga fungsi yang berbeda mengenai dorongan:
• Tanpa adanya suatu dorongan tidak akan ada perkuatan primer, sebab perkuatan primer akan menyebabkan penurunan cepat dari dorongan.
• Tanpa adanya dorongan tidak akan timbul respon, sebab dorongan akan mengaktivir kebiasaan dalam potensi reaksi. Hull berasumsi bahwa dorongan akan melipatgandakan kekuatan kebiasaan.
• Tanpa stimulus dorongan yang jelas, tidak akan terjadi regulasi kebiasaan dari kebutuhan pada organisme, maka tidak ada cara untuk mempelajari.
D. Beberapa Hal Mengenai Teori Belajar Hull.
Dasar dari teori belajar Hull adalah teori belajar behavioristik. Sebelum kita memahami lebih jauh mengenai teori belajar Hull ada baiknya kita juga mengetahui sedikit penjelasan mengenai teori belajar behavioristik. Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage, Berliner, 1984: 252). Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi atau dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Clark Hull menggunakan variabel hubungan antara stimulus dan respon untuk menjelaskan pengertian belajar. Namun Hull juga terpengaruh oleh teori evolusi Charles Darwin. Bagi Hull semua fungsi tingkah laku bermanfaat, terutama untuk menjaga agar organisme tetap bertahan hidup. Oleh sebab itu Hull mengatakan kebutuhan biologis (drive) dan pemuasan kebutuhan biologis (drive reduction) adalah penting dan menempati posisi sentral dalam seluruh kegiatan manusia, sehingga stimulus (stimulus dorongan) dalam belajarpun hampir selalu dikaitkan dengan kebutuhan biologis, walaupun respon yang akan muncul mungkin dapat berwujud macam-macam. Penguatan tingkah laku juga masuk dalam teori ini, tetapi juga dikaitkan dengan kondisi biologis (Bell, Gredler, 1991). Prinsip-prinsip utama teori dari Hull sendiri adalah :
1. Reinforcement adalah faktor penting dalam belajar yang harus ada. Namun fungsi reinforcement bagi Hull lebih sebagai drive reduction daripada satisfied factor.
2. Dalam mempelajari hubungan S-R yang diperlu dikaji adalah peranan dari intervening variable atau yang juga dikenal sebagai unsure O (organisme). Faktor O adalah kondisi internal dan sesuatu yang disimpulkan (inferred), efeknya dapat dilihat pada faktor R yang berupa output. Karena pandangan ini Hull dikritik karena bukan behaviorisme sejati.
3. Proses belajar baru terjadi setelah keseimbangan biologis terjadi. Di sini tampak pengaruh teori Darwin yang mementingkan adaptasi biologis organisme.
C. Hypothetico-deductive theory
Teori belajar ini dikembangkan Hull dengan menggunakan metode deduktif. Hull percaya bahwa pengembangan ilmu psikologi harus didasarkan pada teori dan tidak semata-mata berdasarkan fenomena individual atau secara induktif. Teori ini terdiri dari beberapa postulat yang menjelaskan pemikirannya tentang aktivitas otak, reinforcement, habit, reaksi potensial, dan lain sebagainya (Lundin, 1991, pp.193-195).
Sumbangan utama Hull adalah pada ketajaman teorinya yang detil, ditunjang dengan hasil-hasil eksperimen yang cermat dan ekstensif. Akibatnya ide Hull banyak dirujuk oleh para ahli behavioristik lainnya dan dikembangkan. Namun walaupun demikian Hull juga mendapatkan banyak kritikan yang diberikan padanya, diantaranya sebagai berikut:
1. Teorinya dianggap terlalu kompleks dan sulit dimengerti. Dalam setiap penelitiannya Hull selalu mengembangkan sistem yang rumit dan sangat bergantung kepada matematika elaborasi.
2. Idenya tentang proses internal dianggap abstrak dan sulit dibuktikan melalui eksperimen empiris
3. Partikularistic, usaha untuk menggeneralisasi hasil eksperimen secara berlebihan.

Pada dasarnya, teori belajar Hull berpusat pada perlunya memperkuat suatu pengetahuan yang sudah ada. Perilaku individu yang dilihat dalam konteks homeostatic model selalu mencari keseimbangan dari "drive memaksa." Inti tingkat analisis psikologis adalah gagasan mengenai "variabel intervensi," yang dijelaskan sebagai "unobservable perilaku." Dengan demikian, dari perspektif yang murni perilaku Clark Hull dikembangkan John B. Watson 's yaitu rangsangan-respon (S-R) ke stimulus-organisme-respons (S-O -R), atau variabel campuran. Dari teori Clark Hull yang sistematis, dihasilkan banyak sekali penelitian.

E. Matematiko_Deduktif Hull
Teori belajar ini merupakan satu perlakuan sistematis dari belajar berdasarkan teori pengkondisian klasik dan dinyatakan dalam bentuk postulat-postulat deduktif dan akibat-akibatnya yang bersifat wajar. Hukum asasi dari perolehan kemahiran beranggapan bahwa kekuatan kebiasaan itu dibangun secara beransur-angsur dalam bentuk tambahan atau kenaikan-kenaikan kebiasaan, lewat penguatan yang berdekatan dari unit-unit S-R atau stimulus-respon.
Kekuatan kebiasaaan itu bisa dibuat peka kedalam bentuk daya guna atau prestasi oleh dorongan-dorongan (drives). Apabila tidak terdapat unsur dorongan, prestasi akan menurun sampai angka nol. Bila tidak ada kekuatan kebiasaan, prestasi juga akan menurun sampai titik nol karena dorongan dan kekuatan kebiasaaan itu saling berhubugnan dalan satu fungsi yang multiplikatif (fungsi perkalian). Oleh karena semua teori-teori yang berdasarkan prinsip-prinsip pengkondisian ternyata benar, maka Hull menggunakan teori pemunahan dan penghambatan, agar bisa menerangkan dan menghitung masalah penyusutan reaksi. Pemunahan jelas disebabkan oleh pengulangan tanpa upaya penguatan pada reaksi-rekasi. Perangsang yang berasosiasi dekat dengan satu reaksi yang mengalami proses pemunahan atau pemadaman, akan mampu menghambat munculnya reaksi tersebut. Peristiwa lupa akan material verbal atau hal-hal lisan, diduga merupakan satu kemunduran atau kerusakan fungsi sepanjang perjalanan waktu.
Untuk mengukur jalannya proses belajar, Hull mengemukakan beberapa kemungkinan diantaranya:
1. Latensi (keterpendaman, tersembunyi, belum kelihatan) reaksi, atau kecepatan dengan mana satu reaksi muncul mengikuti penyajian perangsangnya.
2. Kemungkinan reaksi.
3. Jumlah ulangan-ulangan yang diperlukan untuk bisa mengakibatkan pemunahan.

Dalam statemen awal teori Hull ditekankan masalah dorongan dan penguatan primer. Dalan revisi teorinya lebih lanjut dia memberikan lebih banyak penekanan pada reduksi atau pengurangan perangsang dorongan dan penguatan sekunder. Teorinya juga diperluas untuk menerangkan belajar secara diskriminatif (mampu membedakan) dan tingkah laku memecahkan masalah.
Dari semua teori-teori pengkondisian, teori Hull terbukti merupakan salah satu teori yang paling provokatif dengan riset-risetnya, khususnya dalam penyelidikan mengenai peranan penguatan didalam penegakan reaksi-reaksi bersyarat atau reaksi terkondisikan. Hull juga diakui sebagai salah seorang ahli teori paling awal yang berusaha merumuskan teori belajar secara kuantitatif sekali.

Secondary Traumatic Stress Written by Evi Sukmaningrum, Psi., MSi.

Pengertian Secondary Traumatic Stress
Bidang traumatologi (studi mengenai individu yang mengalami trauma) telah mencapai perkembangan yang pesat di akhir dekade ini (Figley, 1995). Salah satu kontribusinya adalah meningkatnya kesadaran bahwa seseorang akan mengalami dampak psikologis yang berat ketika mengalami kejadian yang traumatik. Oleh sebab itu, pada tahun 1980, American Psychiatric Association mempublikasikan adanya diagnosis Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) dalam Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder (Third Edition) (DSM-III). Diagnosis ini melihat simtom-simtom yang umumnya dialami oleh individu-individu yang mengalami trauma sebagai gangguan psikiatris. PTSD merepresentasikan betapa berbahayanya pengaruh biopsikososial dari pengalaman traumatis.
Konsep PTSD mendorong penelitian-penelitian di bidang traumatologi. Dari ratusan penelitian dilaporkan bahwa ternyata individu yang tergolong mengalami trauma bukan hanya korban trauma itu sendiri (victims) tapi juga mencakup mereka yang terkena trauma secara tidak langsung (Pickett, 1998). Atau dengan kata lain, individu dapat mengalami trauma tanpa harus secara fisik berhadapan dengan peristiwa traumatik atau mendapatkan ancaman bahaya secara langsung. Selain itu, hanya dengan mendengar tentang kejadian traumatik itupun dapat berpotensi untuk membawa kondisi traumatik. Tidak hanya keluarga dari seseorang yang mengalami trauma yang rentan terhadap trauma sekunder, tetapi juga para pekerja kesehatan mental dan orang-orang lain yang ingin menolong korban (Figley, 1995).
Charles R.Figley dan B.Hudnall Stamm (Stamm, 1999), yang bekerja menangani klien yang trauma pada sebuah Trauma Center, menyadari adanya suatu efek negatif yang dialami oleh para konselor. Efek ini justru muncul karena upaya seorang konselor dalam memberikan perhatian dan berempati kepada klien serta dorongan yang kuat untuk membantu klien. Menurut Figley dan Stamm (dalam Stamm, 1999), seorang konselor trauma bisa ikut mengalami beberapa simtom yang serupa dengan Post Traumatic Stress Disorder (PTSD) yang dimiliki oleh klien mereka. Figley (dalam Richardson, 2001) mendefinisikan situasi ini dengan Secondary Traumatic Stress (selanjutnya disebut STS), yaitu suatu hal yang terjadi secara natural, merupakan suatu konsekuensi tingkah laku dan emosi sebagai akibat dari pengetahuan mengenai suatu peristiwa trauma yang dialami oleh significant other. Istilah ‘sekunder’ mengacu pada kenyataan bahwa trauma itu dialami oleh orang lain, tetapi kemudian ikut dialami oleh pihak yang mengamati, memberikan bantuan, atau mendengarkan kisahnya (Sidabutar, 2003). Figley (1995) juga menyebut kondisi tersebut sebagai “reaksi secondary catastrophic stress”, yang berarti bahwa empati terhadap pengalaman orang lain menghasilkan ketegangan emosional (seperti kesedihan, kemarahan, dll). Hal ini merupakan “harga” dari memberikan perhatian, kepedulian, dan pertolongan pada individu yang mengalami trauma.
Fenomena tentang STS juga diasosiasikan dengan “cost of caring” terhadap penderitaan emosional orang lain (Figley dalam Rudolph, Stamm, danStamm, 1997). Adanya suatu perasaan simpati yang mendalam dan kesedihan terhadap orang lain yang menderita, disertai dengan keinginan yang kuat untuk meringankan penderitaan mereka dan menghilangkan faktor penyebabnya menyebabkan seseorang mudah untuk mengalami STS (Joinson, dalam Stamm, 1999).
Berdasarkan definisi di atas, maka STS merupakan istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan gangguan atau rasa sakit psikologis yang berkembang pada para profesional kesehatan mental yang bekerja dengan klien yang mengalami trauma (Chrestman dalam Stamm, 1999). Meskipun STS merupakan suatu konsekuensi yang alamiah akibat seseorang mendampingi orang lain yang mengalami trauma, namun tentu saja konsekuensi ini dapat menimbulkan stres yang sangat berat.

Dampak Secondary Traumatic Stress
Para peneliti telah membandingkan efek trauma klien pada pekerja kesehatan mental dengan simtom-simtom PTSD (Conrad dan Perry dalam Hesse, 2002). Mereka sependapat bahwa bekerja dengan klien yang mengalami trauma memiliki efek yang tak dapat dielakkan, mengganggu, dan jangka panjang pada terapis, dan bahwa reaksi ini mungkin saja terjadi tanpa memandang suku, jenis kelamin, usia, dan tingkat keahlian atau profesional seseorang (Edelwichdan Brodsky, dalam Hesse, 2002). Beberapa peneliti yakin bahwa STS dihasilkan dari proses pemaparan dari pengalaman traumatik yang dialami oleh orang lain. Figley dan Stamm (Stamm, 1999) melihat bahwa pengalaman bekerja dengan klien yang mengalami trauma dapat mengubah diri seorang konselor atau terapis menjadi lebih baik atau buruk. Dengan demikian, peristiwa dan pengalaman traumatis klien juga mempengaruhi kehidupan pribadi konselor.
Menurut Beaton dan Murphy (dalam Cornille, 1999), individu yang mengalami STS umumnya menunjukkan simtom-simtom yang sama dengan PTSD, antara lain :
1. Adanya gangguan tidur
2. Kemarahan
3. Ketakutan yang intense
4. Gangguan memory
5. Sensitif
6. Cemas
7. Menekan emosi tertentu
8. Mimpi buruk
9. Kehilangan kontrol
10. Depresi
11. Tendensi untuk bunuh diri
Selanjutnya, efek dari STS itu sendiri akan mengganggu fungsi profesional individu. Yassen (dalam Richardson, 2001) menguraikan dampak STS terhadap fungsi profesional individu sebagaimana yang dapat dilihat melalui tabel berikut ini.



Dampak STS Terhadap Profesionalitas Individu
Tampilan Kerja Moral Interpersonal Tingkah Laku
Penurunan kualitas dan kuantitas kerja
Kurang motivasi
Menghindari tugas
Banyak melakukan kesalahan
Standar kerja yang sempurna
Obsesi terhadap detail Kurang percaya diri
Kehilangan minat
Rasa tidak puas
Sikap negatif
Apati
Menjaga jarak
Merasa hampa Menghindar dari rekan kerja
Tidak sabar
Penurunan kualitas relasi
Sulit berkomunikasi
Mudah konflik dengan rekan kerja Sering tidak masuk kerja
Lelah
Mudah marah
Tidak bertanggungjawab
Terlalu banyak bekerja
Sering berganti-ganti pekerjaan
(Yassen, dalam Richardson 2001)



SUMBER :GOOGLE.COM

HABITUASI DALAM KEHIDUPAN SEHARI-HARI

A. PENDAHULUAN

Selama kita hidup di dunia setiap kali kita melakukan suatu pekerjaan atau ketika kita sedang menganggur tanpa disadari dan tanpa perintah dari otak, kita pasti selalu memperhatikan hal-hal yang ada disekitar kita. Tapi tidak jarang pula perhatian yang kita berikan berasal dari perintah otak atau pikiran kita. Hal tersebut terjadi karena adanya stimulus yang secara spontan mempengaruhi diri kita.

Jika dilihat dari sudut pandang ilmu Psikologi Kognitif perhatian atau yang biasa disebut dengan atensi merupakan cara-cara yang dapat digunakan secara aktif untuk memproses sejumlah informasi yang terbatas dari sejumlah besar informasi yang disediakan oleh indra, memori yang tersimpan, dan oleh proses kognitif lainnya. Seperti yang telah dijelaskan dalam uraian tersebut bahwa sebenarnya tanpa kita sadari setiap hari bahkan setiap detik selalu ada banyak stimulus yang mengelilingi kita dan meminta perhatian dari kita.

Untuk dapat menimbulkan suatu tindakan maka kita harus memperhatikan salah satu stimulus yang ada disekitar kita. Setelah kita memperhatikan stimulus tersebut maka sama artinya kita telah memberi tanggapan atau respon terhadap stimulus tersebut. Respon dari stimulus tersebut berupa tindakan atau reaksi tertentu sesuai dengan stimulus yang kita beri respon.

Contohnya:

Ketika kita sedang berjalan-jalan disebuah taman bunga tentunya perhatian kita tertuju pada keindahan pemandangan alam sekitar dan pada bunga-bunga yang ada di taman itu. Kemudian tiba-tiba ada orang yang terpeleset dan terjatuh di danau yang berada di taman tersebut.

Suara orang yang tercebur ke danau tadi memutus perhatian kita pada keindahan taman bunga tersebut dan langsung mengalihkan perhatian kita ke orang yang tercebur tadi. Respon dari setiap orang yang melihat kejadian itu pasti akan berbeda-beda. Tergantung dari stimulus yang diperhatikan. Ada yang merespon mengenai “apakah orang itu bisa berenang sehingga dia tidak tenggelam”, “apa yang menyebabkan orang itu bisa terpeleset dan tercebur ke danau”, “bagaimana orang itu bisa sampai ke tepi danau tanpa rasa malu karena telah tercebur dan dia bisa tetap melanjutkan rekreasinya”, dan masih banyak lagi respon yang dihasilkan dari satu peristiwa.

Untuk bisa menimbulkan suatu respon berupa tindakan tidak harus berasal dari suatu peristiwa besar seperti contoh diatas. Namun dari hal-hal kecil dan yang paling mendasar di sekitar kita juga bisa menimbulkan suatu stimulus yang dapat menarik perhatian kita untuk menanggapi stimulus tersebut. Kejadian-kejadian kecil yang dimaksudkan misalnya warna bunga, acara televisi, bentuk yang aneh dari suatu benda, bagaimana cara mengikat tali sepatu, bagaimana cara menuju ke kampus, bentuk atau arah jalan menuju kampus, dan masih banyak hal lainnya yang dapat menarik perhatian kita.

Namun sayangnya walaupun banyak sekali stimulus yang dapat menarik perhatian, manusia memiliki keterbatasan dalam memberikan perhatian pada setiap stimulus yang ada. Manusia hanya bisa memproses sebagian kecil informasi yang didapat. Informasi tersebut tidak hanya berasal dari luar diri manusia namun juga berasal dari dalam diri manusia.

Kadang kala apabila kita sudah terlalu sering memberi perhatian pada suatu hal atau kegiatan maka lama-lama kita akan menjadi terbiasa dengan hal tersebut. apabila kita sudah terbiasa maka kita tidak memerlukan banyak energi untuk melakukan lagi kegiatan tersebut berulang-ulang kali. Kegiatan yang sudah terbiasa kita lakukan atau sudah kita kenal dengan baik lama-lama kegiatan tersebut akan secara otomatis berlangsung. Tidak perlu lagi membutuhkan pikiran untuk mengambil keputusan dan bagaimana cara untuk melakukan kegiatan itu. Sehingga energi yang tidak diperlukan lagi tersebut dapat kita alihkan untuk melakukan kegiatan-kegiatan lain yang belum bisa berjalan secara otomatis atau bahkan untuk kegiatan yang masih bersifat baru untuk dapat kita pelajari.

Contohnya:

Ketika kita pertama kali belajar naik sepeda. Pada awalnya kita belajar setahap demi setahap. Dari naik pedal sepeda dengan satu kaki untuk belajar keseimbangan. Setelah keseimbangan badan sudah dapat dijaga baru kita belajar mengayuh sepeda. Kemudian mengenai bagaimana menyesuaikan diri untuk berbelok ke kanan atau ke kiri, dan seterusnya sampai kita mampu mengendarainya. Setelah mahir kita tidak perlu lagi memikirkan tahapan-tahapan yang harus dilalui untuk naik sepeda. Sebab kegiatan naik sepeda sudah menjadi otomatis untuk dilakukan sampai sekarang. Tenaga yang dipakai pun tidak sebanyak ketika pertama kali belajar naik sepeda.

Banyak sekali proses yang terjadi ketika kita memberikan atensi terhadap suatu hal. Namun masyarakat awam atau orang biasa hanya memandang atensi sebagai suatu tindakan sederhana. Mereka memandang bahwa atensi hanya memiliki satu aspek dan satu proses yang terjadi. Namun jika kita tengok lebih dalam lagi dengan menggunakan kajian ilmu Psikologi Kognitif atensi atau perhatian memiliki beberapa sub bagian atau beberapa proses yang mendukung terjadinya atensi tersebut. Dimana proses-proses tersebut sebenarnya saling bergantung dan saling melengkapi satu sama lain. Proses-proses tersebut diantaranya :

1. Pemrosesan Ambang-Sadar

Informasi bagi pemrosesan kognitif yang letaknya di luar kesadaran alam-sadar bertempat di wilayah yang disebut ambang-sadar. Informasi tersebut mencakup memori yang tersimpan namun hanya digunakan ketika kita membutuhkan informasi tersebut.

2. Proses Terkontrol versus Otomatis

Proses terkontrol yaitu proses yang bisa diakses oleh kendali kesadaran bahkan mensyaratkan kontrol kesadaran itu sendiri. Namun mayoritas proses yang terjadi adalah tindakan yang dilakukan secara terkontrol lama-lama akan menjadi tindakan yang dilakukan secara otomatis. Proses otomatis merupakan proses yang tidak melibatkan kontrol kesadaran sedikit pun. Jika ingin dibandingkan maka proses otomatis ini hampir mirip dengan skema gerak refleks. Untuk melakukannya kita tidak memerlukan suatu keputusan atau lama-lama berpikir.

3. Habituasi dan Adaptasi.

Habituasi adalah suatu kondisi yang terjadi dimana kita sudah terbiasa dengan suatu stimulus sehingga lama-lama kita makin kurang memberikan perhatian pada stimulus tersebut. Proses yang terjadi di dalamnya berlangsung setahap demi setahap, sedangkan adaptasi merupakan suatu proses penyesuaian diri terhadap lingkungan di sekitar kita. Proses adaptasi sendiri biasanya terjadi secara otomatis ketika kita menghadapai situasi atau lingkungan yang baru.

Dari masing-masing proses yang telah dijelaskan diatas akan dapat menimbulkan jenis reaksi yang berbeda-beda tergantung dari penyebab dan proses yang terjadi. Atensi atau perhatian dalam ilmu Psikologi Kognitif tidak hanya sebatas pada apa yang telah diuraikan dalam penjelasan di muka tadi. Dalam proses atensi atau perhatian terdapat juga beberapa teori dari tokoh-tokoh terkenal yang tidak kami sampaikan dalam penjelasan pendahuluan tersebut.

Dari berbagai proses yang ada, terdapat satu proses sederhana yang sering terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari namun tidak terlalu kita sadari. Proses tersebut adalah habituasi. Berikut ini akan dibahas mengenai apa itu habituasi dan bagaimana cara kita dapat mengenalinya dalam kehidupan sehari-hari.

B. HABITUASI

Seperti yang telah dijelaskan pada uraian diatas bahwa habituasi adalah suatu kondisi dimana kita sudah terbiasa terhadap suatu stimulus sehingga secara bertahap kita menjadi kurang memberikan perhatian pada stimulus tersebut. Faktor yang berperan dalam menentukan habituasi adalah stabilitas dan keakraban terhadap stimulus yang ada. Namun jika dari stimulus tersebut muncul atau terjadi suatu perbedaan maka perhatian kita akan terfokus kembali terhadap stimulus tersebut walaupun tidak terjadi 100%.

Proses terjadinya suatu perubahan di dalam stimulus yang dikenal kemudian mendorong kita kembali untuk memberikan perhatian terhadap stimulus itu lagi disebut dengan dishabiutuasi. Sebenarnya proses habituasi dan dishabituasi merupakan proses yang terjadi secara otomatis. Walaupun habutuasi terjadi secara otomatis dan memerlukan kontrol dari alam-sadar, namun kita masih bisa mengontrol terjadinya habituasi. Kontrol tersebut tidak berlangsung di dalam otak melainkan pada alat indera kita. Proses seperti ini dikenal dengan adaptasi indera.

Adaptasi indera merupakan proses berkurangnya atensi terhadap sebuah stimulus tetapi bukan karena keinginan otak atau kontrol alam-sadar, namun terjadi secara langsung di dalam indera.

Dua faktor yang mempengaruhi habituasi adalah stimulus internal dan pembangkit subjektif yang bervariasi. Dari kedua faktor tersebut yang paling dominan adalah variasi internal.

Dengan mengukur pembangkit atau biasa disebut dengan arousal yang terdiri dari tingkat kesenangan fisiologis, responsivitas dan kesiapan bagi tindakan, berkaitan dengan garis dasar bertahan hidup, kita dapat mengamati terjadinya habituasi di tingkat fisiologis. Arousal biasanya diukur melalui detak jantung, tekanan darah, pola-pola EEG dan tanda-tanda fisiologis lainnya. Pola-pola fisiologis tersebut sekarang ini telah banyak digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Detak jantung misalnya, orang menganggap apabila detak jantung seseorang bertambah cepat dalam hitungan detik maka ada kemungkinan orang tersebut takut, merasa gusar, marah, dan lain sebagainya. Biasanya apabila detak jantung kita cepat maka akan diikuti naiknya tekanan darah. Hal tersebut dapat terjadi karena jantung berfungsi memompa darah keseluruh tubuh. Maka dari itu apabila detak jantung kita bertambah cepat maka darah yang dipompa akan semakin banyak. Oleh karena itu tidak jarang bagi mereka yang suka marah ada kemungkinan untuk dapat terserang penyakit darah tinggi.

Terapi-terapi yang bertujuan untuk ketenangan atau pergi ke daerah-daerah yang masih banyak lingkungan hijau sangat dianjurkan bagi penderita tekanan darah tinggi agar gejala yang terjadi dapat diminimalisir. Pemandangan hijau selain dapat digunakan untuk mencari ketenangan juga baik bagi tingkat ketahanan stress pada anak-anak.

Seorang psikologi lingkungan dari Cornell University bernama Nancy Wells menemukan manfaat lain dari kebun. Menurutnya lingkungan yang hijau di sekitar rumah merupakan faktor signifikan dalam melindungi kesejahteraan psikologis anak-anak di wilayah perkotaan.

Dari penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa situasi penuh tekanan yang terjadi dalam hidup, tampak tidak banyak menimbulkan ketegangan psikologis pada anak yang tinggal di lingkungan hijau dibandingkan anak yang tinggal di lingkungan tidak hijau. Anak-anak yang bisa menikmati lingkungan asri tersebut terlihat lebih siap menghadapi stress, ketimbang anak yang memiliki kamar tanpa pemandangan hijau.

Wells dan rekannya Gary Evans melakukan penelitian mengenai kadar alamiah disekitar rumah 337 anak kelas tiga sampai lima, dengan melihat jumlah tanaman di dalam rumah mereka, pemandangan hijau yang terlihat dari jendela kamar, dan apa materi pembentuk halaman rumah mereka misalnya terbuat dari rumput, tanah, atau beton. Pengukuran dilakukan menggunakan sebuah alat “skala kadar alamiah lingkungan perumahan.” Wells dan Evan menggunakan tes baku untuk mengukur kadar stress dalam kehidupan anak, laporan orang tua tentang tingkah laku stress anak, dan penilaian diri anak terhadap kesejahteraan psikologisnya.

Anak-anak yang dikelilingi oleh alam memiliki rentang perhatian yang lebih lama. Kemampuan untuk lebih fokus tersebut membuat anak lebih bisa berpikir dengan jernih, sehingga mereka lebih siap untuk menghadapi stress.

Di dalam dunia kedoteran sendiri EEG sudah sering digunakan. EEG sangat membantu bagi para pasien yang koma di rumah sakit. EEG dapat membantu membaca dan menyediakan laporan-laporan verbal atas respon yang terjadi.

Habituasi sendiri berfungsi sangat penting untuk sistem atensi kita, sebab dengan habituasi kita mampu menyingkirkan stimulus-stimulus yang sudah kita kenal dalam banyak stimulus yang kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat mengetahui bagaimana habituasi itu telah atau sedang terjadi dalam kegiatan kita dengan memastikan apakah kita sudah bosan atau jenuh dengan hal yang sedang kita kerjakan. Bosan adalah kata kunci apakah habituasi sedang terjadi atau tidak. Misalnya adalah ketika kita sendang membaca buku, jika lama-lama kita tidak ingat atau tidak mengerti terhadap isi dari paragraph yang baru saja dibaca maka habituasi sedang terjadi.

Namun dengan melakukan beberapa tindakan berikut ini maka kita akan dapat mendishabituasi diri, tindakan tersebut diantaranya:

1. Ambil jeda atau alternatif diantara tugas yang berbeda kalau bisa. Jika anda tidak ingat beberapa paragraph terakhir teks maka berhenti sebentar selama beberapa menit. Tandai teks terakhir yang masih diingat dan letakkan buku itu. Jika apa yang telah dilakukan untuk memahami bacaan merupakan sesuatu yang tidak berharga maka lakukanlah pekerjaan lain untuk sesaat.

2. Buat catatan sembari membaca buku atau mendengarkan kuliah. Membuat catatan dapat memfokuskan atensi kepada materi yang dipelajari dari pada hanya membaca atau mendengarkan. Ubah catatan dari tulisan tangan menjadi print out agar lebih menarik.

3. Sesuaikan fokus atensi anda kepada beragam stimulus.

Jika dari semua tindakan ini masih gagal untuk dilakukan maka kita harus memaksakan diri untuk menjadi tertarik terhadap stimulus yang ada. Mengambil nafas dalam sesekali atau menutup mata selama beberapa detik dapat mengubah tingkatan minat internal kita.